Mendengar Suara Korban Kekerasan Konflik Aceh
Press Clip Source: Kompas
Link to Source: Here
Tidak ada program pemulihan trauma bagi korban konflik. Dampak serius, beberapa korban mengalami gangguan kejiwaan.
Pada 15 Agustus 2023 mendatang usia perdamaian di Provinsi Aceh genap 18 tahun. Namun, pemulihan dan reparasi bagi korban kekerasan konflik masih jauh dari harapan. Masih adakah yang sudi mendengar suara korban?
Yanti (35) belum kuasa menghapus peristiwa pilu yang dialami pada 2000. Siang itu, saat duduk di beranda rumah bersama keluarga di Desa Lingom, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, tiba-tiba beberapa orang berpakaian preman datang menodongkan senjata laras panjang kepada ayahnya. Di bawah todongan senjata, ayahnya diculik orang tidak dikenal.
Belakangan keluarga menemukan ayahnya telah dijebloskan ke penjara. Beberapa bulan ditahan, ayahnya berhasil keluar, tetapi kondisi kesehatannya buruk. Selama ditawan, ayahnya mengalami siksaan berat.
Baca juga : Abadikan Damai, Perkuat Ekonomi Aceh
Kian hari kesehatan ayahnya terus menurun hingga akhirnya pergi selama-lamanya. Yanti tidak tahu siapa pelaku penyiksaan. Setelah ayahnya meninggal, keluarga Yanti hidup dalam perekonomian yang sulit. Karena alasan ekonomi pula Yanti menikah dini saat usianya 17 tahun.
”Sampai sekarang saya belum bisa melupakan, saya masih trauma,” ujar Yanti, Rabu (23/5/2023), dalam acara ”Workshop Sensitivitas Gender; Kepemimpinan Perempuan dan Perdamaian untuk Jaringan Jurnalis di Aceh”.
Rasa trauma itu terus membuntutinya hingga kini karena tidak pernah dipulihkan. Meski begitu, dukungan dari suami, keluarga, dan komunitas membuat Yanti bisa bangkit.
Apa yang dirasakan oleh Yanti juga dirasakan oleh banyak korban konflik Aceh. Mereka tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan masa lalu. Program pemulihan trauma nyaris tidak ada, sementara bantuan pengembangan ekonomi sebagian tidak tepat sasaran.
Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) Kabupaten Aceh Utara Murtala mengatakan telah 18 tahun mereka bersuara menanti keadilan, tetapi nyaris tidak ada yang mendengar. ”Kami menanti keadilan bukan hanya pemulihan trauma dan ekonomi, melainkan juga peradilan,” ujar Murtala.
Baca juga : Harapan Sejahtera Saat 15 Tahun Perdamaian Aceh
Tragedi kekerasan di Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999. Sebanyak 21 warga sipil meninggal dan 146 warga luka-luka. Awal tahun ini, Januari 2023, negara mengakui tragedi KKA sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Selain Simpang KKA, negara juga mengakui peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis di Pidie (1998) serta kekerasan di Jambo Keupok Aceh Selatan (2003) sebagai pelanggaran HAM berat. Pemerintah berjanji akan memulihkan psikologis hingga perbaikan ekonomi korban.Sebenarnya peristiwa pelanggaran pada masa konflik terjadi lebih banyak dari yang diakui negara, misalnya peristiwa pembunuhan di Sungai Arakundo (Aceh Timur), penembakan di Dayah Tgk Bantaqiah Beutong Ateuh (Nagan Raya), penyiksaan di gedung KNPI (Lhokseumawe), dan penghilangan paksa di Timang Gajah (Bener Meriah).
Meski negara memberikan harapan akan memulihkan fisik dan trauma, Murtala masih menginginkan pelaku pelanggaran HAM berat diadili. ”Pertemukan pelaku dengan keluarga korban. Negara tidak boleh memaafkan pelaku, sebab itu adalah hak korban,” kata Murtala.
Walaupun negara telah mengakui tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat, para korban masih ragu negara akan menunaikan semua hak korban dan menyeret pelaku ke persidangan.
Pemulihan trauma
Sementara itu, dalam Forum Konsolidasi Publik pada Jumat (26/5/2023), para penyintas korban dan tokoh perempuan akar rumput kembali menyampaikan harapan akan keadilan kepada Pemprov Aceh. Konsolidasi publik digelar oleh Flower Aceh dan Nonviolent Peaceforce Indonesia atas dukungan Kerajaan Belanda.
Baca juga : Realisasi MoU Helsinki Ditagih
Pertemuan dihadiri 40 perempuan mewakili korban konflik dan tokoh akar rumput. Sementara perwakilan Pemprov Aceh dihadiri Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh, Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Aceh, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Salah seorang penyintas, Dana Wahyuni (44), menuturkan, pemerintah tidak hadir sepenuhnya untuk memulihkan trauma pada korban konflik. Para korban dipaksa berdamai dengan pengalaman pilu masa lalu.
”Tidak ada program pemulihan trauma bagi korban konflik. Dampak serius, beberapa korban mengalami gangguan kejiwaan,” ujar Wahyuni.
Wahyuni sendiri berusaha keras menguburkan tragedi yang dialami di masa konflik. Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI bersepakat mengakhiri konflik bersenjata pada 15 Agustus 2005 di Finlandia, Wahyuni berharap pemulihan trauma dan pemberdayaan ekonomi korban jadi prioritas. Namun, faktanya, korban kian jauh dari keduanya. Padahal, dana otonomi khusus yang digelontorkan pemerintah pusat untuk Aceh sejak 2008 hingga 2023 mencapai Rp 88 triliun.
Wahyuni mengatakan, korban konflik tidak terdata dengan rapi sehingga penyaluran bantuan tidak tepat sasaran. Ia juga menemukan diskriminasi bantuan antara laki-laki dan perempuan, akibatnya terjadi kesenjangan konflik ekonomi sesama korban.
”Akses partisipasi dan pengawasan bagi perempuan dalam pembangunan di Aceh sangat terbatas,” kata Wahyuni.
Meski demikian, para penyintas konflik tidak menyerah pada keadaan. Mereka berusaha saling mendukung untuk tumbuh bersama. Di bawah dampingan lembaga lokal, Flower Aceh, para korban didorong untuk berdaya, sebagian jadi kader kesehatan dan pendamping korban kekerasan terhadap perempuan.
Pertemuan itu melahirkan rekomendasi terhadap beberapa isu, seperti perlindungan perempuan dan anak, isu kesehatan, serta penguatan perdamaian.
Baca juga : 2.800 Hektar Lahan Pertanian Diserahkan untuk Eks Kombatan Aceh
Umi Anisah, seorang ulama perempuan di Aceh Barat, mengatakan, Aceh tidak punya rencana induk atau masterplan pemulihan korban konflik dan perlindungan perempuan dan anak. Akibatnya, korban tidak terberdayakan dan kasus kekerasan serta pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak masih marak.
Menurut Umi, Aceh juga perlu museum perdamaian sebagai ruang memorial kolektif merawat perdamaian. ”Dokumen berkaitan dengan konflik dan perdamaian perlu dirawat agar menjadi pengetahuan generasi masa depan,” kata Umi.
Aceh juga perlu museum perdamaian sebagai ruang memorial kolektif merawat perdamaian.
Subkoordinator Kependudukan dan Kesejahteraan Sosial Bappeda Aceh Cut Vivi Elvida mengatakan, semua agenda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Dana otonomi khusus Aceh sebagian besar digunakan untuk sektor kesehatan dan infrastruktur, seperti Jaminan Kesehatan Aceh, pembangunan rumah sakit regional, dan pembangunan jalan antarkabupaten.
Namun, penguatan ekonomi warga perlu dilakukan lebih baik karena kemiskinan menjadi akar dari setiap masalah yang dialami warga. Dia mencontohkan ketidakmampuan keluarga memenuhi asupan gizi memicu tengkes.
Menurut Vivi, setiap tahun Pemprov Aceh menyalurkan bantuan kepada korban konflik, tetapi sebagian penerima gagal bangkit karena tidak mengelola dengan baik.
Ketua KKR Aceh Mastur Yahya mengatakan, secara kelembagaan KKR Aceh diberi kewenangan untuk mengumpulkan data korban konflik. Sejauh ini mereka telah mengumpulkan 5.000 orang data korban. Namun, KKR Aceh tidak punya kewenangan mengeksekusi program seperti penyaluran bantuan atau pemulihan psikologis.
Sebagian korban yang didata oleh KKR Aceh merupakan korban pelanggaran HAM berat yang diakui oleh negara. Ia berharap korban yang telah mereka data masuk dalam daftar penerima reparasi dari negara.
”KKR menjadi perpanjangan tangan korban untuk menagih rekomendasi kepada pemerintah,” kata Mastur. Data korban yang dimiliki KKR Aceh juga diajukan sebagai calon penerima reparasi dari negara.
Dia khawatir, jika data dari KKR berbeda dengan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), justru akan menimbulkan kecemburuan sosial antarkorban dan menurunkan kepercayaan korban kepada negara.
Baca juga : Damailah Aceh: Pemerintah RI-GAM Tanda Tangani MOU
Direktur Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia Aceh Khairil Arista mengatakan, untuk menguatkan perdamaian, pemulihan psikologis korban mutlak harus dilakukan. Tanpa pemulihan, korban akan terus memandang pelaku sebagai pihak yang melanggar HAM.
”Kebutuhan korban bukan hanya ekonomi, melainkan juga pemulihan trauma dan keadilan,” kata Khairil.
Penantian korban konflik untuk mendapatkan hak pemulihan trauma, reparasi, dan proses hukum terhadap pelaku kekerasan telah berlangsung cukup lama. Sampai kapan mereka harus menanti.
Baca juga : Ariva Safura, Melukis untuk Perdamaian Aceh