fbpx
Every dollar matched up to $50,000 until December 31! Give today.
Our SpeakUp® Mechanism
Nonviolent Peaceforce logo with blue dotDonate

Perempuan dan Perdamaian: Diskusi Tim Nonviolent Peaceforce Philippines dengan Mitra di Aceh

Date: May 18, 2023

Press Clip Source: Waspada
Link to Source: Here

A group of people are sitting on chairs arranged in circle in a room taking notes. The women are wearing head scarves and the wicker coffee tables are covered with water bottles.
Tim Nonviolent Peaceforce Philippines dan perwakilan mitra NP dan CSO yang bekerja di isu perempuan di Aceh melakukan diskusi tentang perempuan dan perdamaian. Kamis, (18/5/2023), di Young Coffee, Banda Aceh. (Foto/Cut Nauval).

Banda Aceh ( Waspada Aceh) – Tim Nonviolent Peaceforce Philippines dan perwakilan mitra NP dan CSO yang bekerja untuk isu perempuan di Aceh mengadakan diskusi tentang perempuan dan perdamaian di Aceh, Kamis (18/5/2023), di Young Coffee, Banda Aceh.

Kegiatan tersebut menghadirkan tiga perwakilan dari tim NP Philippines, yaitu Koordinator Proyek NP Filipina, Kaye Stacey Sison, bersama dengan tiga mantan kombatan perempuan, Wilma Madato, Muslima Gapal, dan Samra Ebad. Ketiganya adalah mantan tentara perempuan yang berperan dalam masa konflik di Filipina. Saat ini, mereka tergabung dalam League of Moro Women’s Organization, Inc (LMWOI).

Kegiatan ini bertujuan untuk mendengarkan masukan yang dapat menjadi pembelajaran bagi mereka di Mindanao, karena proses perdamaian di daerah tersebut masih baru dan sedang mengalami masa transisi.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan CSO seperti Flower Aceh, KKPI Aceh, Lakaspia, SP Aceh, FJPI, Sekolah HAM Perempuan, dan lainnya memberikan pandangan dan masukan terkait peran perempuan dalam membangun perdamaian di Aceh. Akses terhadap berbagai layanan bagi korban konflik, serta upaya pengawasan yang dilakukan oleh CSO yang terlibat aktif saat ini. Mereka juga membahas manfaat dari memperkuat perdamaian di Aceh.

Koordinator Proyek NP Filipina, Kaye Stacey Sison, mengatakan organisasi mantan kombatan ini sedang mengalami transformasi menjadi organisasi sipil, dengan anggota yang terdiri dari 35 batalyon dan 2.700 mantan kombatan.

Mereka juga ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana kelompok sayap militer yang bertransformasi menjadi organisasi sipil dapat memberikan kontribusi dalam fase politik mendatang, terutama dalam persiapan pemilu 2025.

Mereka ingin mendapatkan pengalaman dan masukan tentang bagaimana perempuan dapat lebih berpartisipasi dalam membangun perdamaian, baik dalam konteks pembangunan global maupun pembangunan infrastruktur dan peningkatan kapasitas manusia.

Menurutnya, Aceh memiliki pengalaman yang berharga dalam hal ini, karena telah mencapai 18 tahun perdamaian. Ketika mereka masih menjadi tentara, jumlah anggota kombatan perempuan mencapai 27.000 orang. Organisasi mantan kombatan masih tergolong baru dan kemungkinan akan membutuhkan banyak bantuan dari Aceh yang sudah mengalami masa perdamaian selama 18 tahun.

Mereka ingin mendapatkan informasi dan masukan secara umum mengenai pengalaman tersebut. Di daerah otonomi mereka yang baru berusia 3 tahun, ada beberapa hal yang dibahas, termasuk peran komisi perempuan dan anggaran khusus yang mereka miliki sebesar 5 persen. Anggaran tersebut digunakan untuk menangani kasus-kasus yang terkait dengan perempuan dan konflik, dan peran komisi tersebut sangatlah penting.

Kayejuga menyampaikan bahwa sesi seleksi hari ini memberikan banyak informasi. Dia melihat kesamaan antara Aceh dan Filipina dalam peran penting CSO sebagai pengawas. Oleh karena itu, peran CSO perlu diperkuat melalui peningkatan kapasitasnya. Di sisi lain, penting untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dan perdamaian.

Direktur NP Indonesia Aceh, Faisal Hadi, menyatakan bahwa kegiatan ini memberikan masukan yang berharga bagi CSO Aceh. Pertukaran pengalaman aktivitas dalam mendorong perdamaian memiliki banyak manfaat, terutama dalam hal pembelajaran saling antar wilayah di Asia Tenggara.

Direktur Flower Aceh Riswati juga menyampaikan beberapa praktik yang sedang dilakukan di Aceh. Salah satunya adalah melibatkan perempuan dalam tingkat akar rumput dan mengintegrasikan budaya lokal.

“Perempuan yang tergabung dalam organisasi Flower Aceh telah memimpin di tingkat desa dan berperan sebagai anggota legislatif di tingkat tersebut. Kami juga memiliki ruang konsolidasi melalui forum koordinasi bersama gerakan perempuan,” tuturnya.

Selain itu, menggelar diskusi yang membahas strategi untuk menghadapi pemilu, terutama dalam memperkuat peran perempuan di parlemen. Pertemuan antara perempuan di parlemen dan perempuan akar rumput serta lintas sektor sangat membantu dalam memperkuat komunikasi multipihak.(*)

You can protect civilians who are living in or fleeing violent conflict. Your contribution will transform the world's response to conflict.
arrow-right